SEKOLAH DASAR NEGERI LEUWIGAJAH 3

Jln Kerkof No 30 A Kel. Leuwigajah Kota Cimahi Tlp 022 667 7460

Translate

Tuesday, December 13, 2011

Syarat Naik Kelas

JIKA SISWA (TIDAK) NAIK KELAS
Memasuki akhir tahun ajaran, mengolah nilai siswa untuk menjadi nilai rapot adalah rutinitas bagi setiap guru. Tetapi, bagi guru wali kelas, akhir tahun ajaran bisa menjadi saat yang memberatkan. Betapa tidak, pada akhir tahun ajaran mereka harus memutuskan setiap siswa naik kelas atau tidak. Lalu, apa masalahnya jika siswa naik kelas atau tinggal kelas? Pada setiap sekolah, pasti mempunyai syarat-syarat atau aturan baku kriteria kenaikan kelas. Secara umum, persyaratan tersebut mencakup :
1) memenuhi kriteria ketuntasan minimal (KKM) pada mata pelajaran (mapel), 
2) nilai sikap atau akhlak yang baik, dan 
3) prosentase kehadiran 90% dari jumlah hari efektif. 

Logikanya, jika persyaratan tidak terpenuhi, maka guru kelas setelah musyawarah dengan dewan guru berwenang untuk memutuskan seorang siswa tidak naik kelas. Semudah itukah? Pada prakteknya, tidak sedikit guru kelas yang terjebak untuk memutuskan naik tidaknya siswa berdasarkan satu atau dua syarat saja dari tiga syarat tersebut. Ambil dua kasus saja. 
Kasus pertama, ada sekolah yang memutuskan seorang siswa yang berperilaku sopan dan rajin masuk sekolah untuk naik kelas meskipun nilai-nilainya di bawah KKM. 
Kasus kedua, ada guru kelas yang “saklek” memutuskan siswa tidak naik kelas berdasarkan nilai-nilai kuantitatif tanpa mempertimbangkan sikap dan prosentase kehadiran siswa. Mana yang benar? 

Untuk kasus pertama, jika terus dilakukan dapat berdampak tidak baik bagi guru dan siswa yang bersangkutan. Guru akan merasa tidak perlu “ngoyo” agar siswa bisa tuntas materi sesuai SK dan KD karena jika nilai di bawah KKM pun tetap akan dinaikkan. Bagi siswa, keputusan itu sama saja membiarkan prestasi akademiknya yang jelek berlanjut. Akibatnya, dia akan semakin ketinggalan memahami materi dibandingkan teman-temannya pada kelas berikutnya. Dan ini, bisa menjadi kesalahan fatal seorang guru. 
Adapun untuk kasus kedua, jelas akan sangat berdampak bagi siswa juga wali siswa. Bagi siswa yang tidak naik kelas, sebenarnya yang paling ditakutkan adalah konsekuensi yang mereka terima karena tidak naik kelas. Mungkin saja dimarahi atau diberi hukuman oleh orang tua, atau dihujani ejekan oleh lingkungan. Jika siswa yang tidak naik kelas tadi masih bisa menangis dan melamun, hal itu mengindikasikan dirinya masih mempunyai kesadaran apa artinya prestasi. Bagi wali siswa, mendapati anaknya tidak naik kelas jelas menjadi beban tersendiri. Jika egonya tinggi, maka ia akan malu. Jika wali siswa tidak bisa menerima keputusan sekolah, bisa jadi ia akan membenci dan apatis terhadap sekolah. Lalu memprovokasi orang lain agar tidak memasukkan anaknya ke sekolah tersebut. Sebagai catatan bahwa dampak bagi wali siswa, bukan keputusan bijak dalam kenaikan kelas. Kenaikan kelas bagi siswa merupakan sebuah prasyarat agar siswa siap mengikuti pelajaran pada jenjang kelas yang lebih tinggi. Untuk itu, dalam mengambil kebijakan apakah siswa naik kelas atau tidak, guru harus mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif, baik capaian akademik, kesiapan belajar, perkembangan sosial, perkembangan akhlak, maupun pertimbangan lain. Prinsipnya, siswa perlu dinaikkan atau tidak naik harus berdasarkan mana yang terbaik untuk siswa. Jika merujuk pada kriteria kenaikan kelas, kemudian didapati siswa yang tidak dapat memenuhi kritera tersebut dan dengan berat hati harus diputuskan tidak naik kelas, maka ada upaya minimal yang dapat dilakukan guru. 
Pertama, sebelum memutuskan, guru kelas sebaiknya bermusyawarah dengan dewan guru dan kepala sekolah untuk menerima masukan-masukan yang menentukan. Sehingga keputusan tidak naik adalah hasil musyawarah, bukan atas keputusan sendiri. 
Kedua, komunikasi dan diskusi secara baik-baik dengan wali siswa sebelum hari H pembagian rapot. Gunakan bahasa yang sehalus mungkin mengenai alasan-alasan tidak naik kelas agar tidak begitu mengecewakan wali. Pembagian rapot siswa tidak naik kelas memang ada baiknya dibedakan waktu dan caranya. Memberikan saran kepada wali siswa untuk pindah sekolah dapat dilakukan. Pertimbangannya adalah setelah dievaluasi bahwa bisa jadi ada pengaruh lingkungan di sekolah lama yang membuat siswa kurang nyaman dan menjadi tidak naik kelas. 

Akan tetapi bukan dengan mengkatrol nilai dan menaikkan ke kelas berikutnya asalkan pindah sekolah, karena alasan itu tidak mendidik siswa. Oleh karena itu, guru kelas memang selain professional mengajar di depan kelas, juga dituntut untuk menguasa teknik persuasif melayani wali siswa yang tidak naik kelas. Jika terpaksanya harus tidak menaikkan kelas, maka ucapan persuasif yang dapat diutarakan guru kelas adalah, “ Bapak ibu, ijinkanlah kami membimbing anak bapak dan ibu setahun lagi di kelas yang sama. Insya Allah akan lebih baik lagi”. Semoga semua guru wali kelas mendapat bimbingan dari Allah Swt dalam memutuskan kenaikan kelas para siswanya. Amiin

0 comments:

Post a Comment

Photo Kami

Blog Ini Dibiayai Oleh :

Education
Academics

Toko Murah Online

Tolong di KLIK Iklannya SATU KALI

Join Di Facebook