SEKOLAH DASAR NEGERI LEUWIGAJAH 3

Jln Kerkof No 30 A Kel. Leuwigajah Kota Cimahi Tlp 022 667 7460

Translate

Friday, July 27, 2012

Ayah ku Si Buruk Rupa


Selama ini aku selalu berhasil melarang Ayah datang ke sekolah: mengantar, menjemput, atau untuk keperluan lain. Tentu saja aku tidak terang-terangan melarang. Aku punya cara supaya Ayah tidak merasa aku larang ke sekolah. Seperti musim pengambilan rapor kemarin dulu, misalnya.
“Ibu saja yang mengambil rapor, Yah. Ayah ‘kan capek,” kataku ketika itu.
“Tapi besok ‘kan Sabtu. Ayah libur, tidak ke mana-mana.” “Setiap hari Ayah ‘kan kerja, cuma libur hari Sabtu dan Minggu. Jadi, Sabtu dan Minggu jatah Ayah duduk manis di rumah, baca-baca, nonton tivi, atau siram-siram bunga. Tenang saja, Yah. Dijamin, pokoknya raporku keren,” kataku mencoba ‘melarang’ Ayah ke sekolah.
“Oke, deh,” jawab Ayah dengan gayanya yang khas.
“Yes!” aku berteriak –dalam hati, tapi-- sambil mengepalkan tangan.
Kadang-kadang aku suka merasa berdosa karena sering menghalang-halangi Ayah ke sekolah. Habis, aku harus bagaimana. Kalau Ayah ke sekolah, semua temanku akan tahu penampilan ayahku tidak cool seperti ayah mereka. Bukan karena tidak bisa berdandan, tapi karena Ayah memang tidak menarik, baik wajah maupun postur tubuhnya. Sudah tidak tampan, kurus pula.
Aku tak habis pikir, bagaimana Ibu yang begitu cantik mau menikah dengan Ayah yang … ah, tidak tega aku menyebutnya. Ayah dan Ibu memang sungguh berbeda. Seperti langit dan comberan, begitu istilah Ayah setiap mengatakan perbedaan dirinya dan Ibu –tentu saja dengan nada bercanda. Langit dan bumi saja sudah jauh, apalagi dibandingkan dengan comberan –yang letaknya tentu lebih rendah dari permukaan bumi.
Kulit Ibu putih, bersih, tidak ada noda sedikit pun. Ibaratnya, kalau Ibu minum kopi, kopinya akan kelihatan meluncur dari mulut ke perut lewat lehernya yang indah itu. Sebaliknya, kulit Ayah hitam. Sudah hitam, banyak pulaunya.
“Yang ini bekas jatuh waktu mengejar layangan, yang ini diseruduk sepeda, yang ini kena petasan, yang ini disosor bebek, yang ini…” kata Ayah menunjuk peta pulau di kakinya dan menjelaskan bagaimana pulau-pulau itu didapat.
Ayah menjelaskan itu dengan riang gembira. Seolah-olah pulau-pulau di kakinya adalah sesuatu yang indah dan harus dibanggakan.
“Ayah norak, ih!” Ayah malah tertawa. Sebelnya, Ibu juga ikut tertawa. “Tahu tidak, selain kaki dengan pulau seribu ini, Ayah juga punya karunia lain yang sangat besar dari Tuhan. Karunia itu adalah wajah dan kulit Ayah.” Mulutku menganga, mataku melotot. Tapi Ayah malah tertawa berderai.
“Kamu tahu apa maksud Ayah?” tanya Ibu ikut campur.
Aku menggeleng. Dengan gaya dibuat-buat, Ayah menjelaskan.  “Wajah Ayah adalah pemberian Tuhan. Ayah sudah seperti ini sejak bayi. Memang, Ayah bisa operasi plastik supaya wajah ini kelihatan tampan. Sayangnya Ayah tidak kaya. Seandainya kaya pun, Ayah tak mau operasi plastik. Lebih baik wajah Ayah tetap seperti ini daripada Ayah harus mengumpulkan ember dan tas kresek bekas dan membawanya ke dokter untuk modal operasi wajah Ayah. Jangan-jangan plastik-plastik bekas tadi akan meleleh kalau kena matahari. Hiii, seraam…”
Ayah dan Ibu tertawa. Menyebalkan. Huh!
“Kalau Ayah tidak boleh kena matahari, bagaimana kita bisa hidup. Ayah ‘kan tukang pos. Setiap hari harus berpanas-panas ke sana-kemari mengantar surat. Dari kerja itulah Ayah mendapat uang yang kita pakai untuk macam-macam: mulai dari makan sehari-hari, beli pakaian, bayar listrik, bayar sekolah, dan masih banyak lagi…” ujar Ibu melanjutkan.
Deg! Aku merasa nafasku sesak. Dan mataku terasa panas.Tiba-tiba begitu saja aku menubruk Ayah, memeluk, dan menciuminya.Di sela-sela tangis, aku cuma bisa berkata:
“Maafkan Cantika, Ayah…”
Ya, Ibu benar. Setiap hari Ayah berpanas-panas mengantar surat. Meskipun sudah ditutupi jaket, tetap saja kulit Ayah hitam. Dari kulit yang hitam terbakar matahari itu entah berapa liter keringat yang mengucur. Keringat itulah yang membuat aku bisa terus sekolah. Lalu, apa alasanku untuk tidak membanggakan orang itu, ayahku sendiri, yang telah bekerja keras demi aku, anaknya.
“Lho, lho, lho, ada apa ini?” kata Ayah sambil menerima pelukanku.
“Cantika, Cantika… Ayah bangga bisa berkumpul dengan kalian, bidadari-bidadari yang cantik. Ini anugerah Tuhan yang sangat besar. Tuhan sudah mengatur semuanya. Ayah yang buruk rupa ini bersanding dengan ibumu yang manis-ayu-cantik jelita. Kalau dua-duanya buruk rupa, ho ho ho, bagaimana Ayah bisa memperbaiki keturunan. Salah-salah wajah kamu bisa kotak-kotak…”
***
(Prih Suharto)
prih_suharto @yahoo .com

http://sdn-leuwigajah3.blogspot.com/

Thursday, July 19, 2012

Kedamaian Hati Adalah Kedamaian Sejati

Seorang Raja mengadakan sayembara dan akan memberi hadiah berlimpah kepada siapa saja yang bisa melukis tentang kedamaian. Ada banyak seniman dan pelukis yang berusaha keras untuk memenangkan lomba tersebut.

Ketika sayembara telah usai, sang Raja berkeliling melihat-lihat hasil karya mereka. Hanya ada dua buah lukisan yang paling disukainya. Tapi, sang Raja harus memilih satu diantara keduanya.

Lukisan pertama menggambarkan sebuah telaga yang tenang. Permukaan telaganya bagaikan cermin sempurna yang mematulkan kedamaian gunung- gunung yang menjulang tenang disekitarnya. Di atasnya terpampang langit biru dengan awan putih berarak-arak. Semua yang memandang lukisan ini akan berpendapat, inilah lukisan terbaik mengenai kedamaian.

Lukisan kedua menggambarkan pegunungan juga. Namun tampak kasar dan gundul. Di atasnya terlukis langit yang gelap dan merah menandakan turunnya hujan badai, sedangkan tampak kilat menyambar-nyambar liar. Di sisi gunung ada air terjun deras yang berbuih-buih, sama sekali tidak menampakkan ketenangan dan kedamaian.

Tapi, sang Raja melihat sesuatu yang menarik, di balik air terjun itu tumbuh semak-semak kecil diatas sela-sela batu. Di dalam semak-semak itu seekor induk burung pipit meletakkan sarangnya. Jadi, ditengah-tengah riuh rendahnya air terjun, seekor induk pipit sedang mengerami telurnya dengan damai. Benar-benar damai.

Lukisan manakah yang memenangkan lomba?

Sang Raja memilih lukisan nomor dua.

“Wahai Raja, kenapa Raja memilih lukisan nomor dua?”

Sang Raja menjawab, “Kedamaian bukan berarti kau harus berada di tempat yang tanpa keributan, kesulitan atau pun pekerjaan yang keras dan sibuk. Kedamaian adalah hati yang tenang dan damai, meskipun kau berada di tengah-tengah keributan luar biasa.”

Puisi Chairil Anwar

A K U
                                                             Karya : Chairil Anwar


Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Contoh Puisi

Masih kah yang seperti ini di ajarkan di sekolah...? 
Saat ini puisi dan pantun menjadi barang langka, mari kita simak !! Apakah yang dimaksud dengan puisi anak-anak? Puisi anak-anak adalah jenis karya sastra yang terkait oleh aturan tertentu yang isinya sesuai dengan perkembangan jiwa anak-anak. Oleh sebab itu, puisi tersebut ditujukan bagi anak-anak. Isi, sifat, dan gaya pengungkapannya pun harus disesuaikan dengan pola kehidupan dan kemampuan anak-anak. Tidaklah mungkin kalau gaya pengungkapannnya dengan menggunakan bahasa yang terlalu tinggi, sebab tidak akan dapat dipahami anak-anak.
Puisi anak-anak biasanya yang paling populer berbentuk pantun. Adapun jenis pantun yang termasuk pantun anak-anak adalah pantun bersuka cita, pantun jenaka, pantun teka-teki, pantun nasihat, dan pantun agama.
Berikut contoh pantunnya.

1. Pantun bersuka cita
    Dibawah itik pulang petang
    Dapat di rumput bilang-bilang
    Melihat ibu sudah datang
    Hati cemas jadi hilang

2. Pantun jenaka
    Elok rupanya pohon belimbing
    Tumpuh dekat pohon mangga
    Elok rupanya berbini sumbing
    Biar marah tertawa juga

3. Pantun teka-teki
    Kalau puan, puan cerana
    Ambil gelas di dalam peti
    Kalau tuan bijak laksana
    Binatang apa tanduk di kaki

4. Pantun nasihat
    Berburu kepadang datar 
    Mendapat rusa belang di kaki
    Berburu kepalang ajar
    Bagai bunga kembang tak jadi

5. Pantun agama
    Asam kadis asam gelugur
    Kedua asam siang riang
    Menangis mayat di dalam kubur
    Teringat badan tidak sembahyang

Wednesday, July 18, 2012

SASAKALA SITU BAGENDIT


Di wewengkon Garut aya situ anu ngaranna kawentar ka mana-mana, nyaéta Situ Bagendit. Cék sasakala mah, éta Situ Bagendit téh asal-muasalna kieu:

Baheula, aya hiji randa beunghar katelahna Nyi Endit. Ieu téh saenyana mah nénéhna, da ngaranna sajati mah Nyi Bagendit. Manéhna téh kacida pisan kumedna.

Geus taya nu bireuk deui kana kakumedanana téh. Salian ti pakacar-pakacarna mah, tara aya nu larsup ka imahna. Éstuning lain babasan éta mah hirup nyorangan téh. Ngahaja mencilkeun manéh, ngababakan di tengah pasawahan anu upluk-aplak. Maksudna taya lian, ku bawaning embung campur jeung batur, da sieun kasoro téa.

Kacaturkeun keur usum panén, di ditu di dieu ceuyah dibaruat. Ka sawah Nyi Endit ogé réa nu gacong. Ari réngsé dibuat jeung sanggeus paréna dikaleuitkeun, sakumaha tali paranti, Nyi Endit nyieun sidekah. Ngondang lebé jeung sawatara tatangga. Popolahna saniskara ku sorangan, teu aya nu ngabantuan. Barang geus tarapti, sakur nu mantuan ngakut tuluy diondang ngariung tumpeng. Atuh anu ngariung téh nepi ka ratusna. Tapi sadia tumpengna teu sabaraha, nepi ka ngan sakotéap gé geus bérés, bari tingkarétap kénéh.

Keur meujeuhna balakécrakan, solongkrong aya aki-aki bongkok nu nyampeurkeun. Ku pribumi teu ditari teu ditakon. Nya pok aki-aki téh waléh yén teu kawawa lapar, sugan aya sih piwelas. Ana gantawang téh Nyi Endit bet nyarékan, nyék-sék-nyéksékkeun, pajarkeun téh taya kaéra, teu ngahutang gawé, ménta bagian. Tungtungna nepi ka nundung, aki-aki dititah nyingkah. Cindekna mah geus lain picaritaeun wé.

Aki-aki indit bari jumarigjeug, bangun teu nangan. Méméh indit manéhna ngomong kieu, “Sagala gé boh ka nu hadé boh ka nu goréng, moal taya wawalesna.”

Ngomong kitu téh kasaksian ku sakur nu aya di dinya. Saréngséna nu dalahar tuluy amit rék baralik. Kakara gé patinglaléos, rug-reg ngarandeg, sabab aya nu tinggarero, “Caah! Caah!” cenah.

Henteu kanyahoan deui ti mana datangna cai, ngan leb wé pakarangan Nyi Endit téh geus kakeueum. Atuh kacida ributna, jalma-jalma geus teu inget ka diri batur, asal salamet dirina baé. Nyi Endit ogé nya kitu, niat rék nyingkiran cai, tapi barang kaluar pisan ti imahna, cai téh nepi ka lir ombak laut tinggaruling ka palebah Nyi Endit. Imahna terus kakeueum méh laput.

Nyi Endit angkleung-angkleungan, bari satungtung bisa mah teu weléh-weléh sasambat ménta tulung Tapi taya nu nulungan, da batur gé sarua ripuhna. Nyi Endit ngalelep. Beuki lila, cai téh beuki gedé baé. Nepi ka jadi situna, ngeueum sakabéh pakaya Nyi Bagendit

Legenda Sangkuriang


Alkisah pada jaman dahulu kala ada sebuah kerajaan di jawa barat yang dipimpin oleh seorang raja. Raja memiliki seorang putri yang sangat cantik yang bernama Dayang Sumbi. Dayang Sumbi sangat pandai menenun, setiap hari dia akan menghabiskan waktu dengan menenun kain di sebuah pondok di pinggir hutan. Suatu hari, seperti biasa ketika Dayang sumbi sedang menenun kain, tiba-tiba segulung benang terjatuh dan berguling ke luar pondok. Tanpa sadar Dayang Sumbi berkata:

"Siapa pun yang mau mengambilkan benangku yang terjatuh, jika dia wanita akan kujadikan saudara, jika dia pria akan kujadikan dia suamiku."
Seekor anjing hitam tiba-tiba muncul di hadapannya dengan membawa gulungan benang miliknya. Dayang sumbi terkejut, namun apa mau dikata, Dayang sumbi telah terlanjur berucap. Maka Dayang sumbi pun bersedia menikahi anjing tersebut. Ternyata anjing tersebut adalah titisan dewa. Begitu Dayang sumbi bersedia menikahinya, dia pun berubah wujud menjadi seorang pria yang sangat tampan. Mereka berdua merahasiakan kejadian ini pada baginda raja. Raja hanya tahu bahwa kemana pun Dayang sumbi pergi akan ditemani oleh seekor anjing hitam yang dipanggil Tumang.

Hingga suatu hari Dayang sumbi mengandung. Hal ini membuat istana geger dan membuat raja murka. Beliau murka karena Dayang sumbi hamil tanpa menikah. Karena sangat marah, raja lalu mengusir Dayang sumbi keluar dari istana. Maka Dayang sumbi dan si Tumang pun pergi dari istana dan tinggal di sebuah pondok di tepi hutan. Beberapa bulan kemudian Dayang Sumbi melahirkan seorang putra yang diberi nama Sangkuriang. Sangkuriang tumbuh menjadi anak yang pandai. Setiap hari Sangkuriang pergi berburu Rusa atau burung dan menangkap ikan di sungai bersama Tumang.

Suatu ketika saat berburu, Sangkuriang melihat seekor kijang emas. Dia menyuruh Tumang mengejarnya. Anehnya Tumang yang biasanya menurut, kali ini tidak mau bergerak dari tempatnya meski Sangkuriang mengancamnya. Tak sengaja anak panah yang dipakai untuk mengancam Tumang terlepas dari busurnya dan mengenai Tumang hingga anjing itu tewas. Ketika sampai di pondok, Dayang sumbi yang sedang menanak nasi menanyakan keberadaan Tumang.
"Saya membunuhnya bu," kata Sangkuriang.
Dayang sumbi sangat terkejut dan marah sehingga memukul kepala Sangkuriang dengan sendok nasi yang sedang dipegangnya hingga berdarah. Sangkuriang berulang kali memohon ampun, namun Dayang sumbi malah mengusirnya. Sangkuriang pun pergi meninggalkan Dayang sumbi. Setelah sekian lama berjalan, Sangkuriang tak bisa lagi menahan rasa sakit di kepalanya, maka ia pun jatuh pingsan. Seorang pertapa menemukan Sangkuriang dan membawanya ke pertapaan. Dia merawat Sangkuriang sampai lukanya sembuh dan megajarinya ilmu bela diri dan kesaktian. Karena ketekunannya Sangkuriang berhasil menjadi seorang yang sakti dan bisa memanggil serta memerintah jin dan dedemit. Sayang, sangkuriang tidak bisa mengingat masa lalunya. Maka pertapa memanggilnya Jaka.

Sementara itu Dayang Sumbi menyesal telah mengusir Sangkuriang. Maka dia memohon kepada Dewa untuk mempertemukan mereka kembali. Dayang sumbi berdoa siang dan malam, hingga suatu hari Dewa berkenan mengabulkan permintaannya.
"Aku akan memberimu kecantikan abadi," kata Dewa, "supaya wajahmu tidak berubah sampai kapanpun, dan anakmu akan mengenalimu saat kalian berjumpa."

Setelah bertahun-tahun lamanya, Jaka berniat untuk mengembara dan mencari tahu masa lalunya. Maka pergilah ia kemana kakinya melangkah. Hingga akhirnya tibalah ia di sebuah pondok di tepi hutan. Di sana dia bertemu dengan seorang wanita yang sangat cantik dan Jaka terpesona. Ternyata wanita itu adalah Dayang Sumbi. Mereka pun berkenalan dan saling jatuh cinta.

Suatu hari Jaka hendak pergi berburu.
"Nyai, hari ini akang akan pergi berburu," kata Jaka. "Maukah kau mengikatkan ikat kepalaku?"
"Baiklah kang," kata Dayang Sumbi.
Maka jaka merendahkan tubuhnya supaya Dayang sumbi bisa mengikatkan ikat kepalanya. Tiba-tiba Dayang sumbi melihat bekas luka di kepala Jaka. Dia sangat kaget karena luka itu persis berada di tempat dia pernah memukul anaknya. Dayang sumbi mulai curiga bahwa Jaka tidak lain adalah Sangkuriang anaknya sendiri. Apalagi setelah diperhatikan Jaka sangat mirip dengan wajahnya sendiri. Maka Dayang Sumbi pun bertanya:
"Kenapa ada bekas luka di kepalamu, kang?"
"Akang juga tidak tahu," kata Jaka. "Seingatku luka itu sudah ada sejak akang masih kecil. Akang memang tidak ingat masa lalu akang. Guruku berkata bahwa dia menemukanku sedang pingsan dan terluka parah."

Mendengar hal itu Dayang sumbi semakin yakin bahwa Jaka adalah Sangkuriang. Maka ia pun berusaha meyakinkan Sangkuriang. Namun Sangkuriang tidak percaya. Menurutnya tidak mungkin wanita muda di hadapannya adalah ibunya yang sudah berpisah sekian lama. Karena Sangkuriang tetap tidak percaya dan dia tetap ingin menikahi Dayang Sumbi, maka Dayang Sumbi mengajukan persyaratan.
"Apapun persyaratannya aku pasti akan sanggup memenuhinya," kata Sangkuriang.
"Kau harus bisa membuatkanku sebuah danau dan sebuah perahu tempat kita berbulan madu nanti," kata Dayang Sumbi.
"Hanya itu?" tanya Sangkuriang. "Gampang sekali."
"Ya, tapi sebelum fajar menyingsing kau harus sudah menyelesaikannya," jelas Dayang Sumbi. "Baiklah!" kata Sangkuriang. "Kau akan melihatnya besok pagi."

Malam harinya Sangkuriang memanggil Jin dan dedemit untuk membantunya. Tidak sulit bagi para makhluk gaib itu untuk melaksanakannya. Mereka dengan mudah menggali tanah dan menyusun batu-batu besar untuk membendung aliran air sehingga terbentuk sebuah danau. Lalu mereka mulai menebang hutan dan membuat perahu. Dayang Sumbi yang diam-diam mengintip pekerjaan Sangkuriang merasa was-was melihat sebentar lagi danau dan perahu tersebut akan selesai. Maka dia berlari ke desa terdekat untuk meminta pertolongan. Kemudian Dayang sumbi dan masyarakat di desa tersebut menggelar kain sutera merah di sebelah timur dan ramai bercengkrama sehingga membangunkan ayam-ayam yang lalu mulai berkokok seolah-olah hari telah pagi. Para Jin dan Dedemit yang melihat warna merah dan suara ayam berkokok mengira bahwa fajar akan segera terbit. Mereka ketakutan sehingga cepat-cepat melarikan diri meninggalkan perahu yang hampir jadi.

Sangkuriang sangat marah mengetahui dirinya telah tertipu. Maka dengan kekuatannya dia menendang perahu yang dibuatnya hingga perahu itu terbang dan jatuh terbalik. Sejak itu perahu itu berubah menjadi gunung yang sampai sekarang dikenal dengan Gunung Tangkuban Perahu. (Dalam bahasa Sunda Tangkuban Perahu artinya Perahu yang terbalik.

Photo Kami

Blog Ini Dibiayai Oleh :

Education
Academics

Toko Murah Online

Tolong di KLIK Iklannya SATU KALI

Join Di Facebook