Selama ini aku selalu berhasil
melarang Ayah datang ke sekolah: mengantar, menjemput, atau untuk keperluan
lain. Tentu saja aku tidak terang-terangan melarang. Aku punya cara supaya Ayah
tidak merasa aku larang ke sekolah. Seperti musim pengambilan rapor kemarin
dulu, misalnya.
“Ibu saja yang mengambil rapor, Yah. Ayah ‘kan
capek,” kataku ketika itu.
“Tapi besok ‘kan Sabtu. Ayah libur, tidak ke
mana-mana.” “Setiap hari Ayah ‘kan kerja, cuma libur hari Sabtu dan Minggu.
Jadi, Sabtu dan Minggu jatah Ayah duduk manis di rumah, baca-baca, nonton tivi,
atau siram-siram bunga. Tenang saja, Yah. Dijamin, pokoknya raporku keren,”
kataku mencoba ‘melarang’ Ayah ke sekolah.
“Oke, deh,” jawab Ayah dengan gayanya yang
khas.
“Yes!” aku berteriak –dalam hati, tapi-- sambil
mengepalkan tangan.
Kadang-kadang aku suka merasa
berdosa karena sering menghalang-halangi Ayah ke sekolah. Habis, aku harus
bagaimana. Kalau Ayah ke sekolah, semua temanku akan tahu penampilan ayahku
tidak cool seperti ayah mereka. Bukan karena tidak bisa berdandan, tapi
karena Ayah memang tidak menarik, baik wajah maupun postur tubuhnya. Sudah
tidak tampan, kurus pula.
Aku tak habis
pikir, bagaimana Ibu yang begitu cantik mau menikah dengan Ayah yang … ah,
tidak tega aku menyebutnya. Ayah dan Ibu memang sungguh berbeda. Seperti langit
dan comberan, begitu istilah Ayah setiap mengatakan perbedaan
dirinya dan Ibu –tentu saja dengan nada bercanda. Langit dan bumi saja sudah
jauh, apalagi dibandingkan dengan comberan –yang letaknya tentu lebih rendah
dari permukaan bumi.
Kulit Ibu putih, bersih, tidak ada noda sedikit pun. Ibaratnya, kalau Ibu
minum kopi, kopinya akan kelihatan meluncur dari mulut ke perut lewat lehernya
yang indah itu. Sebaliknya, kulit Ayah hitam. Sudah hitam, banyak pulaunya.
“Yang ini
bekas jatuh waktu mengejar layangan, yang ini diseruduk sepeda, yang ini kena
petasan, yang ini disosor bebek, yang ini…” kata Ayah menunjuk peta pulau di
kakinya dan menjelaskan bagaimana pulau-pulau itu didapat.
Ayah
menjelaskan itu dengan riang gembira. Seolah-olah pulau-pulau di kakinya adalah
sesuatu yang indah dan harus dibanggakan.
“Ayah norak, ih!” Ayah malah tertawa. Sebelnya, Ibu juga ikut tertawa. “Tahu
tidak, selain kaki dengan pulau seribu ini, Ayah juga punya karunia lain yang
sangat besar dari Tuhan. Karunia itu adalah wajah dan kulit Ayah.” Mulutku
menganga, mataku melotot. Tapi Ayah malah tertawa berderai.
“Kamu tahu
apa maksud Ayah?” tanya Ibu ikut campur.
Aku
menggeleng. Dengan gaya dibuat-buat, Ayah menjelaskan. “Wajah Ayah adalah pemberian Tuhan.
Ayah sudah seperti ini sejak bayi. Memang, Ayah bisa operasi plastik supaya
wajah ini kelihatan tampan. Sayangnya Ayah tidak kaya. Seandainya kaya pun,
Ayah tak mau operasi plastik. Lebih baik wajah Ayah tetap seperti ini daripada
Ayah harus mengumpulkan ember dan tas kresek bekas dan membawanya ke dokter
untuk modal operasi wajah Ayah. Jangan-jangan plastik-plastik bekas tadi akan
meleleh kalau kena matahari. Hiii, seraam…”
Ayah dan Ibu tertawa. Menyebalkan. Huh!
“Kalau Ayah tidak boleh kena
matahari, bagaimana kita bisa hidup. Ayah ‘kan tukang pos. Setiap hari harus
berpanas-panas ke sana-kemari mengantar surat. Dari kerja itulah Ayah mendapat
uang yang kita pakai untuk macam-macam: mulai dari makan sehari-hari, beli pakaian,
bayar listrik, bayar sekolah, dan masih banyak lagi…” ujar Ibu melanjutkan.
Deg! Aku merasa nafasku sesak. Dan
mataku terasa panas.Tiba-tiba begitu saja aku menubruk Ayah, memeluk, dan
menciuminya.Di sela-sela tangis, aku cuma bisa berkata:
“Maafkan Cantika, Ayah…”
Ya, Ibu benar. Setiap hari Ayah
berpanas-panas mengantar surat. Meskipun sudah ditutupi jaket, tetap saja kulit
Ayah hitam. Dari kulit yang hitam terbakar matahari itu entah berapa liter
keringat yang mengucur. Keringat itulah yang membuat aku bisa terus sekolah.
Lalu, apa alasanku untuk tidak membanggakan orang itu, ayahku sendiri, yang
telah bekerja keras demi aku, anaknya.
“Lho, lho, lho, ada apa ini?” kata Ayah sambil
menerima pelukanku.
“Cantika, Cantika… Ayah bangga bisa berkumpul
dengan kalian, bidadari-bidadari yang cantik. Ini anugerah Tuhan yang sangat
besar. Tuhan sudah mengatur semuanya. Ayah yang buruk rupa ini bersanding
dengan ibumu yang manis-ayu-cantik jelita. Kalau dua-duanya buruk rupa, ho ho
ho, bagaimana Ayah bisa memperbaiki keturunan. Salah-salah wajah kamu bisa
kotak-kotak…”
***
(Prih Suharto)
prih_suharto @yahoo .com
http://sdn-leuwigajah3.blogspot.com/
http://sdn-leuwigajah3.blogspot.com/